Rabu, 02 Mei 2012

AKHLAK PART II



Secara terminologi kata akhlak memiliki banyak definisi. Para tokoh pendidikan dan ulama pun tidak ketinggalan memberikan pemaparannya, di antaranya Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu.[1]

Ali Abdul Halim Mahmud mengatakan bahwa definisi akhlak adalah sebuah sistem yang terdiri dari karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku yang membuat seseorang menjadi istimewa. karakteristik-karakteristik ini membuat kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berprilaku sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam kondisi yang berbeda-beda.[2]
Menurut Abdullah Dirroj, akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam akhlak yang jahat). Menurutnya perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya apabila dipenuhi dua syarat. Pertama, perbuatan itu dilakukan berulang kali. Kedua, perbuatan itu dilakukan karena dorongan jiwa, bukan karena adanya paksaan dari luar atau orang lain.[3]
Disamping itu, istilah akhlak, ada beberapa istilah yang sering disama artikan dengan akhlak yaitu moral, etika dan susila.[4] Moral berasal dari bahasa Latin (mores) ialah prilaku yang sudah menjadi kebiasaan seseorang dan baik buruknya perilaku itu diukur dengan norma yang berlaku. Sedang etika berasal dari bahasa Yunani (ethos) ialah perilaku yang sudah menjadi kebiasaan seseorang baik dan buruk diukur dengan logika yang sehat. Susila berasal dari bahasa Sansekerta (su = baik dan sila = prinsip), yaitu perilaku yang sudah menjadi kebiasaan seseorang.
Dalam bahasa Yunani istilah akhlak dipergunakan istilah ethos atau ethikos atau etika (tanpa memakai hurup H) yang mengandung arti “etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi budi daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik”.[5]
Menurut Ibn Miskawaih akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[6]
Menurut Ahmad Amin[7] akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak. Menurut beliau lagi kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah bimbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempuyai kekuatan, dan gabungan dari dua kekuatan ini menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan yang besar inilah yang bernama akhlak.
Ada orang yang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik dan buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam falsafah manusia adalah mendapatkan sesuatu yang ideal bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran yang berlainan dan sifatnya relatif. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.[8]
Dengan demikian akhlak adalah tingkah laku yang muncul dari dorongan dalam jiwa. Jika tingkah laku itu baik dan sudah menjadi kebiasaannya disebut akhlaknya baik. Begitu pula sebaliknya dengan demikian perbuatan seseorang adalah cerminan dari akhlaknya bukan dari akhlaknya sendiri.[9]
Dari beberapa pengertian akhlak di atas, dapatlah dimengerti bahwa akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa difikirkan dan diangan-angan lagi.



[1]Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 226.
[2]Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, 26-27.
[3]Ibid., 223.
[4]Rahman Ritonga, Akhlaq (Merakit Hubungan dengan Sesama Manusia) (Surabaya: Pustaka Ilmu, 2005), 8.
[5]Zahruddin, AR, Pengantar Studi Akhlak, 2-3.
[6]Abudin Nata, Akhlak tasawuf  (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), 1.
[7]Prof. Ahmad Amin adalah seorang Mesir yang berpengetahuan tinggi, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Pengetahuan agam diperolehhnya dari al-Azhar University, sedang pengetahuan umum diperolehnya dari Egyptian University, sehingga mendapat gelar doktor dalam ilmu filsafat. Hasil karyanya banyak sekali, di antaranya Fajrul Islam, dhuhal Islam, Yaumul Islam dan lain sebagainya yang kesemuanya menjadi bahan-bahan kuliah di Cairo University, lihat Zahruddin, AR. Akhlak Tasawuf, 4-5.
[8]Mustofa., Akhlak Tasawuf, 15.
[9]Ibid., 8-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar