Minggu, 01 April 2012

PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM DI ARAB-MESIR





A. Pendahuluan
Yang dimaksud dengan sejarah islam dikawasan kebudayaan Arab ialah kegiatan umat islam yang berada di lingkungan kebudayaan Arab yang meliputi wilayah Timur Tengah, yakni Saudi Arabia, Mesir, Syria, Palestina, Yordania, Libanon, Irak, dan Yaman. Di tambah kawasan Teluk Persia yang meliputi Oman, Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Disusul dengan negara-negara di Afrika Utara yang meliputi Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Lybia.


Kawasan budaya Arab pertama kali ialah wilayah yang meliputi jazirah Arabia, ketika islam datang dan menyebar kewilayah sekitarnya, maka terislamkanlah tersebut dan terarabkan sebagai konsekuensi logis dari islam yang dibawa oleh bangsa Arab. Dengan demikian jadilah Mesir dan Afrika Utara berbudaya Arab, demikian Irak yang dahulunya dalam pengaruh kebudayaan Persia dan Syria yang berkebudayaan Byzantium.
Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras atau rumpun bangsa Caucasoid, dalam sub ras Mediterranean yang anggotanya meliputi wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabia dan Irania. Bangsa Arab hidup berpindah-pindah, nomad, karena tanahnya terdiri dari gurun pasir yang kering dan sangat sedkit sekali turun hujan. Penduduk Arab tinggal di kemah-kemah dan hidup berburu untuk mencari nafkah, bukan bertani dan berdagang yang tidak diyakini sebagai kehormatan bagi mereka, memang negeri itu susah untuk ditanami.
B. Pemikiran Dan Peradaban Islam Di Arab-Mesir
1. Arab
Bangsa Arab terdiri dari berbagai suku bangsa yang tersebar diseluruh Jazirah Arabia. Mereka kebanyakan mendiami wilayah pinggir Jazirah, dan sedikit yang tinggal di pedalaman. Pada masa dahulu tanah arab itu dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a. Arab Petrix atau Petraea, yakni wilayah yang terletak di sebelah barat daya gurun Syria, dengan Petra sebagai pusatnya.
b. Arab diserta atau gurun Syria yang kemudian dipakai untuk menyebut seluruh Jazirah Arab karena tanahnya tidak subur.
c. Arab Felix, wilayah hijau (Green Land) atau wilayah yang berbahagia (Happy Land), yakni wilayah Yaman yang memiliki kebudayaan maju dengan Kerajaan Saba’ dan Ma’in.
Bangsa Arab itu di bagi menjadi dua, yakni Qahtan dan Adnan. Qahtan semula berdiam di Yaman, namun setelah hancurnya bendungan Ma’rib sekitar tahun 120SM. Mereka berimigrasi keutara dan mendirikan kerajaan Hirah dan Gassan. Sedangkan Adnan adalah keturunan Ismail Ibn Ibrahim, yang banyak mendiami Arabia dan Hijaz.
Bangsa Arab telah dapat mendirikan kerajaan, diantaranya adalah Saba’, Ma’in dan Qutban serta Himyar, semuanya di Yaman. Di utara Jazirah berdiri kerajaan Hirah (Manadirah) dan Gassan (Gassasinah). Hijaz menunjukkan wilayah yang tetap merdeka sejak dahulu karena miskin daerahnya, namun terdapat tempat suci, yakni Makkah yang di dalamnya berdiri Ka’bah sebagai tempat beribadah sejak dahulu, di samping ada sumur Zamzam yang ada sejak Nabi Ismail. Di kawasan itu juga terdapat Yasrib yang merupakan daerah subur sejak dahulu.
Jazirah Arabia sebenarnya terpecah ke dalam beberapa kekuasaan. Hijaz, wilayah Arabia bagian barat berada di bawah para penguasa yang memegang tampuk kepemimpinan di Mesir. Demikian wilayah selatannya, kaum Syi’ah Zaidiyah menguasai kawasan tersebut. Tetapi di wilayah tengah dan timur netral dari kekuasaan yang datang dari barat dan timur. Di sana pernah berdiri dinasti yang bercorak Syi’ah yang lain, ialah kaum Qarmatiyah atau Qaramitah.
Abu Sa’id al-Hasan al-Janabi yang tidak jelas asal usulnya adalah pendiri dinasti Qaramitah tersebut. Mereka juga dikenal dengan Abu Sa’idiyah terutama di Bahrain. Mereka bertentangan dengan kaum Sunni, dan agak memandang rendah bentuk lahiriah agama, dan melakukan amalan agama secara informal. Pola pemerintahannya dibagi dua bagian, yang pertama, bidang diplomasi dan perang dipegang oleh dinasti Abu Sa’id, yang kedua bidang kemasyarakatan dipegang oleh dewan sesepuh atau ‘Iqdaniyah. Kaum Qaramitah merebut Kufah yang dikuasai oleh kelompok Bahrain, menyerang para kafilah haji dan menjarah Makkah dengan merampas Hajar Aswad, batu hitam yang terletak di Ka’bah dan dibawa lari ke pusat pemerintahannya selama dua puluh tahun. Mereka menganggap bahwa Hajar Aswad adalah obyek takhayul. Hajar Aswad itu baru dikembalikan ke Ka’bah atas desakan khalifah al-Mansur dari dinasti Fatimiyahdi Mesir yang sama-sama Syi’ah.
Bila Qaramitah termasuk Syi’ah yang ekstrim maka Zaidiyah yang ada di Yaman termasuk kelompok Syi’ah yang moderat, dan berpendapat bahwa khalifah Ali Ibn Abi Talib ditunjuk oleh Nabi saw. Sebagai pemimpin umat karena keunggulan pribadinya bukan karena ketentuan nas dari Tuhan. Mereka juga menganggap imam kelima dari Syi’ah seharusnya bukan Muhammad al-Baqir melainkan adalah saudaranya, Zaid yang gugur dimasa khalifah Hisyam dari bani Umaiyah. Para keturunan dan pengikut Zaid berhasil mempengaruhi masyarakat Dailam, dan wilayah pantai barat daya laut kaspia, sebuah wilayah yang sulit diislamkan.
Di Oman dan negeri-negeri pantai timur Afrika termasuk Zanzibar berdiri dinasti Bu Sa’idiyah, manggantikan para penguasa Ya’rubiyah, yang didirikan oleh Ahmad Ibn Sa’id yang beraliran Khawarij Ibadiyah sekitar tahun 1163/ 1749. Pusat pemerintahan mereka adalah di Muscat yang merupakan pelabuhan penting sejak dahulu yang dijadikan perebutan antara banyak kekuatan, baik Arab maupun Barat (Portugis, Belanda, Inggris) dan Turki Usmani. Kekuasaan Bu Sya’idiyah ini akhirnya terdesak oleh kaum Wahabiyah yang telah berdiri tegak di Nejd, Arabia Tengah.
Arabia Tengah selalu netral dari kekuasaan asing karena wilayahnya yang sulit dijangkau oleh kekuatan asing, termasuk Turki Usmani sekalipun. Di Nejd berdiri kekuasaan kaum Wahabiyah yang dipelopori oleh persekutuan antara Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang mempunyai otoritas bidang agama dengan Muhammad Ibn Sa’ud yang menguasai lapangan politik sekitar tahun 1744. Kekuasaan baru ini beraliran Hanbali dan mengikuti ajaran Ibn Taimiyah, bermula dari keinginan mengembalikan tauhid kepada relnya yang benar lantaran sudah banyaknya praktek agama yang menyeleweng dari ajaran tauhid, keesaan Tuhan.  Kaum Wahhabi menghancurkan praktek-praktek keagamaan yang tergolong bid’ah seperti pengkeramatan terhadap para Wali dan Syaikh, serta makam-makam yang dianggap suci.
Kekuasaan Wahhabi meluas hingga Arabia Tengah seluruhnya, ke Arabia Timur yang dikuasai oleh kaum Syi’ah sampai ke Irak dan menghancurkan makam Husain Ibn Abi Talib di Karbela, menguasai Arabia Utara, kemudian menguasai Hijaz yang terdapat di dalamnya Makkah dan Madinah. Kekuasaan Wahhabi tersebut mengundang kemarahan Turki Usmani, yang bila dibiarkan saja akan lebih luas lagi kekuasaannya. Oleh karena itu Sultan Usmani mengutus gubernur Mesir, Muhammad Ali Pasya untuk menghancurkan kekuasaan Wahhabi tersebut. Ibrahim, anak Muhammad Ali dapat menghancurkan pusat kekuasaan Wahhabi di Dar’iyah di Nejd tahun1233/ 1818. Tetapi kekuasaan mereka masih terus berjalan di pengasingan, yakni di Kuwait. Kekuasaan Wahhabi bangkit kembali pada abad kedua puluh dan menjadi kerajaan Saudi Arabia yang sekarang ini.
Arab Saudi yang luasnya sekitar 2.240.000 km2 mencakup empat perlima kawasan di Semenanjung Arab dan merupakan negara terbesar di Asia Timur Tengah. Arab Saudi terkenal sebagai sebuah negara yang luhur dan mempunyai banyak kawasan gurun.
Penduduk Arab Saudi adalah mayoritas berasal dari kalangan bangsa Arab, sekalipun juga terdapat keturunan dari bangsa-bangsa lain serta mayoritas beragama Islam. Wilayah Arab Saudi terbagi atas 13 propinsi atau Minthaqah, yakni Bahah, Hududusy Syamaliyah, Jauf, Madinah, Qasim, Riyadh, Syarqiyah, ‘Asir, Ha’il, Jizan, Makkah, Najran dan Tabuk.
Sa’udiyun (keluarga Sa’ud) yang menjadi nenek moyang keluarga yang berkuasa sekarang telah berdiri sejak 1446 dan menetap di Wadi Hanifah. Setelah melalui tujuh generasi, Sa’ud Ibn Mukran memerintah al-Dar’iyah. Peletak dasar keamiran bagi keluarga Sa’udiyah adalah anaknya yang bernama Sa’ud Ibn Muhammad Ibn Mukran (1724-1765). Oleh karena itu, tempat mereka setelah berkembangnya disebut dengan al-Dari’yah. Sebelum mereka menetap disana, keturunan mereka itu tersebar ke berbagai wilayah di Jazirah Arab untuk mencari air dan makanan sampai mereka tiba di Khaibar, Taima, Madain, Madinah al-Munawarah dan daerah-daerah Nejd dan al-Dar’iyah sendiri sebagai pusat keamirannya. Kondisi ini tidak dimaksudkan sebagai awal perencanaan pendidirian kerajaan Saudi karena perpindahan mereka itu lebih bersifat nomaden yang telah menjadi karakter mereka sendiri sejak dahulu.
Pemikiran keagamaan pada fase awal keamiran Sa’udiyah adalah pemikiran reformis yang ditawarkan al-Syaikh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab. Pemikiran ini mendasarkan pada ajaran agama. Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab datang ke al-Dar’iyah ketika amirnya dijabat oleh Muhammad Ibn Sa’ud. Dia diterima dengan baik dan ajarannya dikembangkan. Sejak itu, pemikiran kesukuan dan keagamaan yang sedang dilanda penuh konflik menjadi satu pemikiran dan satu pandangan.
Sepintas pemikiran Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab di pengaruhi oleh pemikiran Ibn Taymiyah yang intisarinya antara lain sebagai berikut:
1. Pemahaman terhadap al-Kitab dan al-Sunnah yang dipahami berdasarkan metodologi Salaf al-Shalih. Dia berpandangan bahwa al-Kitab dan al-Sunnah bukan hanya sekedar berita saja sebagaimana diperkirakan orang-orang dari ahli kalam, hadits, fiqih dan tasawuf, tetapi sebagai dalil dan petunjuk jalan bagi makhluk dan dalil yang tegas bagi dasar-dasar agama.
2. Ketauhidan sangat diperhatikan meliputi zat, sifat dan ibadah makhluk terhadap Tuhan, berupa ungkapan An-Na’bud Allah wa la nusyrik bih siwah. Oleh karena itu, doa merupakan bagian dari ibadah yang tidak boleh meminta kepada sesama makhluk yang sudah mati.
3. Rasulullah saw. diperlakukan tidak secara berlebih-lebihan, tetapi cukup sebagai petunjuk saja. Dibolehkan menziarahi kuburnya, tetapi tidak boleh untuk meminta-minta.
Paham keagamaan masyarakat di Saudi Arabia ini sampai sekarang adalah paham Wahabi yang mengacu pada ajaran Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab. Selanjutnya ajaran Wahabi dikembangkan oleh ulama-ulama penerusnya, sampai kemudian dengan cepat mencapai berbagai kota diluar Saudi Arabia, terutama pada musim haji. Ke India dibawa oleh Haji Ahmad, ke Afrika Utara dibawa oleh al-Sanusi, ke Yaman oleh asy-Syaukani, dan ke Mesir oleh Muhammad ‘Abduh. Di Indonesia pemikiran ini dikembangakan oleh H. Abdul Hamid Hakim dan KH. Ahmad Dahlan.
2. Mesir
Mesir adalah negara yang kaya dengan sejarah dan berbagai peninggalannya sesuai dengan kurun waktu yang telah dilaluinya, yaitu zaman Fir’aun, zaman Romawi/ Masehi dan zaman Islam.
Mesir merupakan wilayah dunia Islam yang mempunyai posisi penting karena letak geografisnya yang strategis. Pada tahun 1182-1187 H/1768-1772 M, Mesir di perintah oleh ‘Ali Bek al-Kabir, seorang penguasa berasal dari Mamluk. Dia mengumumkan kemerdekaan Mesir serta menggabungkan Hijaz dan Syuriah kedalam wilayahnya.
Pada tahun 1213-1216 H/1798-1801 M, pasukan Perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte menguasai Mesir. Mereka juga berhasil merebut Syam, Gaza dan Yafa. Tetapi Napoleon segera kembali ke Perancis karena kondisi didalam negerinya yang mengharuskannya meninggalkan Mesir. Pada perkembangan berikutnya, muncullah Muhammad ‘Ali yang berkuasa di Mesir mulai dari tahun 1805-1849. Muhammad ‘Ali awalnya adalah pemimpin kelompok Albania dalam pasukan Utsmaniyah. Lalu para Ulama mengangkatnya disebabkan oleh kezaliman dan tirani pemimpin-pemimpin Utsmaniyah.
Muhammad Ali menundukkan Sudan pada tahun 1821. Tetapi pasukan Mesir mengalami kekalahan besar di Yunani pada tahun 1827 dari pasukan sekutu Inggris, Perancis dan Rusia. Tampaknya ini merupakan hasil kesepakatan untuk mendapatkan dukungan Inggris bagi kemerdekaan Mesir. Lalu dia berhasil menguasai Syam dan mengalahkan tentara Utsmaniyah pada tahun 1247 H/1831 M.
Sewaktu memerintah, Muhammad ‘Ali memiliki perhatian besar dalam upaya menjadikan Mesir sebagai negara modern yang dapat mengikuti kemajuan yang telah dicapai Eropa. Oleh karena itu, pada masa pemerintahannya terjadilah kebangkitan di Mesir dengan tumbuhnya industri-industri, sekolah-sekolah tinggi dan percetakan-percetakan. Selain itu, pembenahan dibidang pertanian, industri dan perdagangan juga dilakukannya demi pembangunan Mesir.
Ketika kekuasaan dipegang oleh al-Khudaiwi Taufiq, negara Perancis dan Inggris ikut campur di hampir seluruh segi kehidupan masyarakat Mesir tanpa reserve sama sekali. Selanjutnya muncullah pemimpin-pemimpin nasional yang memiliki kecenderungan terhadap Islam, seperti Musthafa Kamil dan Muhammad Farid. Kemudian Inggris menarik diri dan menghapuskan perlindungan terhadap Mesir, serta memberikan kemerdekaan kepada Mesir pada tahun 1340 H/1922 M. Di lain pihak, partai Sa’d Zaqhlul akhirnya memperoleh kemenangan dan memimpin Mesir.
Pada tahun 1954, Nasser menggeser Naguib dan mengambil alih kendali pemerintahan. Pada bulan juli 1956, Nesser mengumumkan nasionalisme perusahaan Terusan Suez, padahal saham-sahamnya dipegang oleh Inggris dan Perancis. Tiga bulan kemudian, Inggris dan Perancis menyerang Mesir. Israel yang memang sedang berperang dengan Mesir dan kapal-kapalnya dilarang memasuki terusan suez, melanggar perjanjian gencatan senjata dan bergabung dengan Inggris dan Perancis menyerang Mesir. Ketiga Negara ini berhasil menduduki Semenanjung Sinai dan sebagian Zone Terusan Suez. Perserikatan Bangsa- Bangsa akhirnya campur tangan dan tentara Inggris, Perancis beserta Israel ditarik dari Sinai. Tentara penjaga perdamaian PBB ditempatkan disepanjang garis demarkasi antara Mesir dan Israel.
Pada bulan November 1977, Sadat membuat sesuatu perjalanan bersejarah ke Israel, sehingga menjadikannya sebagai kepala negara Arab pertama yang mengunjungi negara Yahudi-Israel. Hubungan ini mengarah kepada perundingan antar kedua negara yang melahirkan Perjanjian Camp David pada tahun 1978.
Terbunuhnya Sadat pada 6 Oktober 1981 menimbulkan ketegangan dalam negeri dan pengucilan Mesir dari dunia Arab. Penggantinya, Hosni Mubarrok berjanji meneruskan kebijakan Sadat serta memulihkan keserasian dalam negeri dan negara tetangga. Mesir diterima kembali dalam Liga Arab tahun 1989. Mubarak sampai saat ini masih berkuasa di Mesir karena perubahan konstitusi pada tahun 1980 memperbolehkan presiden untuk memangku jabatan selama waktu yang tidak terbatas dan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum yang utama. Presiden Mesir saat ini adalah Hosni Mubarak (1981-sekarang).
Islam masuk Mesir dibawa oleh Amru bin Ash  pada tahun 641 M. Islam diterima di Mesir dengan cara damai dan tanpa melalui peperangan. Rakyat mesir dikala itu menganut Kristen aliran Coptic (baca : Koptik) yang mempercayai akan kehadiran agama baru “Islam”.
Amru bin Ash menjadikan kota Fushtat (sekarang bernama old Egypt/Mesir lama) sebagai pusat kota pada masanya.
Selama masa Islam berjaya di Mesir, terjadi pula peristiwa perang Salib yang diantaranya berkecamuk di wilayah Mesir, dengan panglima terkenalnya Shalahuddin Al-Ayyubi. Kini benteng peninggalan perang Salib itu masih berdiri kokoh dan dilestarikan dengan nama Benteng Shalahuddin/Citadel.
Mesir bukanlah sekedar wilayah geografis. Mesir adalah pencipta peradaban. Inilah yang menyebabkan Mesir dijuluki sebagai induk bumi (the mother of the earth). Negeri ini hanya berwujud sebuah garis tipis sepanjang lembah sungai Nil sementara sisanya merupakan gurun pasir yang tidak bisa dihuni. Persoalan bukan terletak pada luas daerah, melainkan pada semangat orang-orang yang menghuninya. Garis tipis tersebut menciptakan nilai-nilai moral, konsep monoteisme, kesenian, sains, dan sistem administrasi yang mengagumkan. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan rakyat Mesir bisa bertahan di saat kebudayaan negeri-negeri lain musnah.
Islam masuk ke Mesir membawa kepercayaan Semitik yang baru bagi rakyat Mesir. Keadilan dan kesetaraan seluruh umat manusia, misalnya landasan prinsip Islam. Islam tidak membedakan warna kulit, etnis, ataupun kekayaan. Di hadapan Tuhan, penguasa dan subjek peribadatan setiap orang setara. Mesir tetap mempertahankan beberapa karakter asli setelah penaklukan Islam.
Islam merekonstruksi karakter rakyat Mesir tanpa melenyapkan akar-akarnya. Pengaruh Islam pada rakyat Mesir melebihi apapun yang terjadi di Mesir sejak masa Fira’un.
Mesir memberi suara baru pada Islam. Mesir tidak mengubah prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, tapi budaya Mesir memberi sebuah nafas baru. Sesuatu yang tidak bisa ditemukan di tanah Arab. Mesir mengembangkan Islam yang moderat, toleran, dan tidak ekstrem.
Penduduk Mesir merupakan pemeluk yang saleh, tapi mereka tahu cara memadukan kesalehan dan kegembiraan, seperti yang telah dilakukan oleh nenek moyang di masa lampau. Rakyat Mesir merayakan hari raya dengan cerdas. Festival keagamaan dan bulan Ramadhan merupakan kesempatan untuk merayakan kehidupan.
C. Kesimpulan
Penduduk Arab Saudi adalah meyoritas berasal dari kalangan bangsa Arab, sekalipun juga terdapat keturunan dari bangsa-bangsa lain. Serta mayoritas beragama islam. Pemikiran keagamaan pada fase awal keamiran Saudiyah adalah pemikiran reformasi yang ditawarkan al-Syaikh Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab. Jazirah Arab terbagi kepada beberapa wilayah keamiran yang kekuasaannya tergantung pada kemampuan pribadi Amir dan kepentingan masing-masing.
Mesir merupakan wilayah dunia islam yang mempunyai posisi penting karena letak geografisnya yang strategis. Pada tahun 1182-1187H Mesir  diperintah oleh ‘Ali Bek al-Kabir, seorang penguasa berasal dari Mamluk. Dia mengumumkan kemerdekaan Mesir, serta menggabungkan Hijaz dam Syuriah kedalam wilayahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Umat Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Terj. Samson Rohman. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Bernerdscayne, Negara Dan Bangsa, Terj. Tonies Rachmandie. Jakarta: Widyadara, 1999.
Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah Dan Kebudayan Islam, Terj. Djahdan Human.Yogyakarta: Kota Kembang , 1989.
Mufrodi, Ali, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997.
Rofiq, Ahmad Choirul, Sejarah Peradaban Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2009.
Syalabi, Ahmad, Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Jaya Murni, tt.



Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), v.
Ibid., 1.
Ahmad Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Jaya Murni, tt), 24.
Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah Dan Kebudayan Islam, Terj. Djahdan Human (Yogyakarta: Kota Kembang , 1989), 15.
Ibid., 17
Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab., 6
Ibid., 119
Ibid., 120
Ibid., 121
Ibid., 122
Ahmad Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2009), 372
Ibid., 373
Ibid., 375
Ibid., 395
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Umat Islam: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Terj. Samson Rohman (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), 419
Ahmad Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam., 396
Bernerdscayne, Negara Dan Bangsa, Terj. Tonies Rachmandie (Jakarta: Widyadara, 1999), 117-118

Tidak ada komentar:

Posting Komentar